Rabu, 15 Oktober 2014



Berita hari ini
Sepeda Ontel
                Di salah satu pondok pesantren mahasiswa tepatnya di Surabaya, ada salah seorang santriwati yang kehilangan sepeda ontel miliknya. Kejadian kehilangan sepeda ontel ini terjadi kira-kira sekitar pertengahan bulan Agustus, seorang santriwati ini sebut saja Cempluk, sudah mencari sepeda milknya itu kemana-kemana tetapi tidak menemukannya, sampai akhirnya ketika dua teman dari cempluk ini ke warung dekat pesantren, mereka berdua melihat ada seorang kakek-kakek mengendarai sepeda ontel tersebut, kedua teman dari cempluk akhirnya menceritakan hal tersebut, setelah di telusuri, kakek yang mengendarai sepeda ontel tersebut ternyata warga sekitar. Cempluk dkk akhirnya menemui kakek itu sebut saja kakek iman, ketika cempluk dkk ke rumah kakek iman dan bertanya sekaligus menjelaskan mengenai mksud serta tujuannya, kakek iman menyangkal bahwasannya sepeda ontel tersebut sudah dimilikinya sejak lama, tapi bukti-bukti sudah menunjukkan sepeda tersebut adalah milik cempluk, hanya gantungan kunci sepeda ontel tersebut yang di ganti. Dan sekitar bulan September, sepeda ontel tersebut telah kembali ke pemiliknya yaitu cempluk denga di bantu oleh saksi-saksi dan bukti-bukti yang jelas.

Rabu, 01 Oktober 2014




A.    AL-FARABI
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan “Al-Farabi” diambil dari nama kota kelahirannya, Farab. Ia lahir pada tahun 258 H/870 M. Ayahanya adalah seorang Iran dan menikahi wanita Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi disebut keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga disebut keturunan Iran.
Al-Farabi hidup dalam keluarga seorang jenderal Turki. Pendidikan dasar Al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi Al-Qur’an, hadits, tafsir, dan fiqih. Dan bahasa meliputi bahasa Arab, Persia dan turki. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat, serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.[1][1]
                                
B.     FILSAFAT AL-FARABI
1.      Filsafat Emanasi
Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak timbul dari Yang Satu. Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kemudian bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu, Al-Farabi menjelaskannya melalui filsafat emanasi/pancaran.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dar pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama.

Wujud/Akal
Tuhan
Dirinya
Wujud III/Akal Kedua
Wujud ke IV/Akal Ketiga
Bintang-bintang
Wujud IV/Akal Ketiga
Wujud V/Akal Keempat
Saturnus
Wujud V/Akal Keempat
Wujud VI/Akal Kelima
Jupiter
Wujud VI/Akal Kelima
Wujud VII/Akal Keenam
Mars
Wujud VII/Akal Keenam
Wujud VIII/Akal Ketujuh
Matahari
Wujud VIII/Akal Ketujuh
Wujud IX/Akal Kedelapan
Venus
Wujud IX/Akal Kedelapan
Wujud X/Akal Kesembilan
Mercury
Wujud X/Akal Kesembilan
Wujud XI/Akal Kesepuluh
Bulan

Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Sehingga ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langi (sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal Kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam atau barunya alam. Al-Farabi menentang teori Aristoteles bahwa alam adalah kekal. Al-Farabi berpendapat bahwa alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, namun sekaligus dengan tak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi Al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan Pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. Akal Kesepuluh memancarkan jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal.[2][2]
Adapun Akal Kesepuluh dinamakan akal yang aktif bekerja, yang oleh orang Barat disebut active intelect), yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal Manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.

C.    KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, adalah filosof yang memulai pendidikan dasarnya melalui belajar ilmu agama. Ia menguasai beberapa bahasa, disamping itu ia juga mempelajari matematika dan filsafat. Pemikiran Al-Farabi dikenal dengan filsafat emanasi atau pancaran dimana Tuhan merupakan Akal Pertama, selain itu ia juga mempunyai pemikiran terhadap kenabian yang ia tunjukkan bagi penganut aliran yang tidak mempercayai Nabi atau Rosul (wahyu) pada zaman itu, dan filsafat kenabian tersebut erat hubungannya dengan teori politiknya yang diuraikannya dalam buku Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, 2006.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1988.


[3][1] Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, 2006, hlm 26.
[4][2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, hlm 29.
[5][3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, hlm 33.








filsafat islam Al-Farabi


A.    AL-FARABI
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan “Al-Farabi” diambil dari nama kota kelahirannya, Farab. Ia lahir pada tahun 258 H/870 M. Ayahanya adalah seorang Iran dan menikahi wanita Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi disebut keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga disebut keturunan Iran.
Al-Farabi hidup dalam keluarga seorang jenderal Turki. Pendidikan dasar Al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi Al-Qur’an, hadits, tafsir, dan fiqih. Dan bahasa meliputi bahasa Arab, Persia dan turki. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat, serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.[1][1]
                                
B.     FILSAFAT AL-FARABI
1.      Filsafat Emanasi
Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak timbul dari Yang Satu. Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kemudian bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu, Al-Farabi menjelaskannya melalui filsafat emanasi/pancaran.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dar pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama.

Wujud/Akal
Tuhan
Dirinya
Wujud III/Akal Kedua
Wujud ke IV/Akal Ketiga
Bintang-bintang
Wujud IV/Akal Ketiga
Wujud V/Akal Keempat
Saturnus
Wujud V/Akal Keempat
Wujud VI/Akal Kelima
Jupiter
Wujud VI/Akal Kelima
Wujud VII/Akal Keenam
Mars
Wujud VII/Akal Keenam
Wujud VIII/Akal Ketujuh
Matahari
Wujud VIII/Akal Ketujuh
Wujud IX/Akal Kedelapan
Venus
Wujud IX/Akal Kedelapan
Wujud X/Akal Kesembilan
Mercury
Wujud X/Akal Kesembilan
Wujud XI/Akal Kesepuluh
Bulan

Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Sehingga ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langi (sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal Kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam atau barunya alam. Al-Farabi menentang teori Aristoteles bahwa alam adalah kekal. Al-Farabi berpendapat bahwa alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, namun sekaligus dengan tak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi Al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan Pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. Akal Kesepuluh memancarkan jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal.[2][2]
Adapun Akal Kesepuluh dinamakan akal yang aktif bekerja, yang oleh orang Barat disebut active intelect), yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal Manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.

C.    KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, adalah filosof yang memulai pendidikan dasarnya melalui belajar ilmu agama. Ia menguasai beberapa bahasa, disamping itu ia juga mempelajari matematika dan filsafat. Pemikiran Al-Farabi dikenal dengan filsafat emanasi atau pancaran dimana Tuhan merupakan Akal Pertama, selain itu ia juga mempunyai pemikiran terhadap kenabian yang ia tunjukkan bagi penganut aliran yang tidak mempercayai Nabi atau Rosul (wahyu) pada zaman itu, dan filsafat kenabian tersebut erat hubungannya dengan teori politiknya yang diuraikannya dalam buku Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, 2006.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1988.


[3][1] Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, 2006, hlm 26.
[4][2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, hlm 29.
[5][3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, hlm 33.